Pages

Sejarah Banten


Saduran Bebas dari buku “THE SULTANATE OF BANTEN by Claude Guillot, Hasan M. Ambary and Jacques Dumarçay, Gramedia 1990”
ASAL MUASAL
Tidak banyak yang diketahui mengenai sejarah dari bagian terbarat pulau Jawa ini, terutama pada masa sebelum masuknya Islam. Keberadaanya sedikit dihubungkan dengan masa kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya, yang menguasai Selat Sunda, yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera.
Dan juga dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran, yang berdiri pada abad ke 14 dengan ibukotanya Pakuan yang berlokasi di dekat kota Bogor sekarang ini. Berdasarkan catatan, Kerajaan ini mempunyai dua pelabuhan utama, Pelabuhan Kalapa, yang sekarang dikenal sebagai Jakarta, dan Pelabuhan Banten.
Dari beberapa data mengenai Banten yang tersisa, dapat diketahui, lokasi awal dari Banten tidak berada di pesisir pantai, melainkan sekitar 10 Kilometer masuk ke daratan, di tepi sungai Cibanten, di bagian selatan dari Kota Serang sekarang ini. Wilayah ini dikenal dengan nama “Banten Girang” atau Banten di atas sungai, nama ini diberikan berdasarkan posisi geografisnya. Kemungkinan besar, kurangnya dokumentasi mengenai Banten, dikarenakan posisi Banten sebagai pelabuhan yang penting dan strategis di Nusantara, baru berlangsung setelah masuknya Dinasti Islam di permulaan abad ke 16.

Peta Lokasi Banten Girang
Penelitian yang dilakukan di lokasi Banten Girang di tahun 1988 pada program Ekskavasi Franco – Indonesia, berhasil menemukan titik terang akan sejarah Banten. Walaupun dengan keterbatasan penelitian, namun banyak bukti baru yang ditemukan. Sekaligus dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten ternyata jauh lebih awal dari perkiraan semula dengan ditemukannya bukti baru bahwa Banten sudah ada di awal abad ke 11 – 12 Masehi. Banten pada masa itu sudah merupakan kawasan pemukiman yang penting yang ditandai dengan telah dikelilingi oleh benteng pertahanan dan didukung oleh berbagai pengrajin mulai dari pembuat kain, keramik, pengrajin besi, tembaga, perhiasan emas dan manik manik kaca. Mata uang logam (koin) sudah digunakan sebagai alat pembayaran, dan hubungan internasional sudah terjalin dengan China, Semenanjung Indochina, dan beberapa kawasan di India.
banten-girang1.jpg
Lokasi Banten Girang
banten-girang2.jpg
Banten Girang : Pertapaan yang diukir di dalam bukit batu
Secara nyata, tidak ada keputusan final yang dapat diambil sebelum penelitian dilakukan lebih lanjut, tapi dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten sudah berlangsung sangat lama dan teori bahwa keberadaannya dimulai pada saat terbentuknya Kerajaan Islam di Banten, tidak lagi dapat dipertahankan.
Bangsa Portugis telah mendokumentasikan keberadaan Banten dan sekitarnya pada awal abad ke 16, kurang lebih 15 tahun sebelum Kerajaan Islam Banten terbentuk.
Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis memulai perdagangan dengan bangsa Sunda. Ketertarikan utama mereka adalah pada Lada yang banyak terdapat di kedua sisi Selat Sunda. Bangsa Cina juga sangat berminat pada jenis rempah rempah ini, dan kapal Jung mereka telah berlayar ke pelabuhan Sunda setiap tahunnya untuk membeli lada. Walaupun Kerajaan Pajajaran masih berdiri, namun kekuasaannya mulai menyusut. Kelemahan ini tidak luput dari perhatian Kerajaan Islam Demak. Beberapa dekade sebelumnya Kerajaan Demak telah menguasai bagian timur pulau Jawa dan pada saat itu bermaksud untuk juga menguasai pelabuhan Sunda. Masyarakat Sunda, memandang serius ekspansi Islam, melihat makin berkembangnya komunitas ulama dan pedagang Islam yang semakin memiliki peranan penting di kota pelabuhan “Hindu”.
Menghadapi ancaman ini, Otoritas Banten, baik atas inisiatifnya sendiri maupun atas seizin Pakuan, memohon kepada bangsa Portugis di Malaka, yang telah berulangkali datang berniaga ke Banten. Di mata otoritas Banten, bangsa Portugis menawarkan perlindungan ganda; bangsa Portugis sangat anti Islam, dan armada lautnya sangat kuat dan menguasai perairan di sekitar Banten. Banten, di sisi lain, dapat menawarkan komoditas lada bagi Portugis. Negosiasi ini di mulai tahun 1521 Masehi.
Tahun 1522 Masehi, Portugis di Malaka, yang sadar akan pentingnya urusan ini, mengirim utusan ke Banten, yang dipimpin oleh Henrique Leme. Perjanjian dibuat antara kedua belah pihak, sebagai ganti dari perlindungan yang diberikan, Portugis akan diberikan akses tak terbatas untuk persediaan lada, dan diperkenankan untuk membangun benteng di pesisir dekat Tangerang. Kemurah hatian yang sangat tinggi ini menggaris bawahi tingginya tingkat kesulitan yang dihadapi Banten. Pemilihan pembuatan benteng di daerah Tangerang tidak diragukan lagi untuk dua alasan : yang pertama, agar Portugis dapat menahan kapal yang berlayar dari Demak, dan yang kedua untuk menahan agar armada Portugis yang sangat kuat pada saat itu, tidak terlalu dekat dengan kota Banten. Aplikasi dari perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kekuasaan yang tak terbatas bagi Portugis. Lima tahun yang panjang berlalu, sebelum akhirnya armada Portugis tiba di pesisir Banten, di bawah pimpinan Francisco de Sá, yang bertanggungjawab akan pembangunan benteng.
Sementara itu, situasi politik telah sangat berubah dan sehingga armada Portugis gagal untuk merapat ke daratan. Seorang ulama yang sekarang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, penduduk asli Pasai, bagian utara Sumatera setelah tinggal beberapa lama di Mekah dan Demak, pada saat itu telah menetap di Banten Girang, dengan tujuan utama untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Walaupun pada awalnya kedatangannya diterima dengan baik oleh pihak otoriti, akan tetapi Ia tetap meminta Demak mengirimkan pasukan untuk menguasai Banten ketika Ia menilai waktunya tepat. Dan adalah puteranya, Hasanudin, yang memimpin operasi militer di Banten. Islam mengambil alih kekuasaan pada tahun 1527 M bertepatan dengan datangnya armada Portugis. Sadar akan adanya perjanjian antara Portugis dengan penguasa sebelumnya, Islam mencegah siapapun untuk merapat ke Banten. Kelihatannya Kaum Muslim menguasai secara serempak kedua pelabuhan utama Sunda, yaitu Kalapa dan Banten, penguasaan yang tidak lagi dapat ditolak oleh Pakuan.
Sebagaimana telah sebelumnya dilakukan di Jawa Tengah, Kaum Muslim, sekarang merupakan kelas sosial baru, yang memegang kekuasaan politik di Banten, dimana sebelumnya juga telah memegang kekuasaan ekonomi. Putera Sunan Gunung Jati, Hasanudin dinobatkan sebagai Sultan Banten oleh Sultan Demak, yang juga menikahkan adiknya dengan Hasanudin. Dengan itu, sebuah dinasti baru telah terbentuk pada saat yang sama kerajaan yang baru didirikan. Dan Banten dipilih sebagai ibukota Kerajaan baru tersebut.

Kesultanan Banten


Kesultanan Banten
Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.

Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut, dan mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kerajaan sendiri.

Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.

Pembentukan awal
De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François Valentijn, Amsterdam, 1726
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura) dan dianugerahi keris oleh raja tersebut (Sultan Munawar Syah).
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana, Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.
Puncak kejayaan
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
Perang saudara
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan. Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapatiletnan yang berpangkat beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 168328 Januari mereka berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.
Penurunan
Bantuan dan dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung. Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat perang tersebut kepada VOC.
Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten maupun gejolak ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten. Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.
Penghapusan kesultanan

Reruntuhan Keraton Kaibon, bekas istana kediaman Ibu Suri Sultan Banten.
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.
Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
Agama

Lukisan litograf Masjid Agung Banten pada kurun 1882-1889.
Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.
Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada NabiMuhammad, dan menempatkan para ulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.
Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.[22]
Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.
Kependudukan
Kemajuan Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis. Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kelompok etnis nusantara lain dengan jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali.
Dari beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan terdapat antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap untuk berperang, sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut sebanyak 10 000 orang yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang paling dapat diandalkan, pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekita 55 000 orang. Jika keseluruhan penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150 000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.
Sekitar tahun 1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan Cina Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan masyarakat India dan Arab. Sementara di Banten beberapa kelompok masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.
Perekonomian
Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang, patik, baliung, kored dan sadap.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina di tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.
Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.

Nabi Isa AS


Ia bergelar Almasih dan dipanggil Ibnu Maryam, putra Maryam (Q.3:45). Nabi Isa a.s. diutus Allah Swt. sebagai nabi dan rasul. Ia lahir tanpa ayah, tetapi bukan karena zina. Sejak masih bayi, ia berperilaku lain dari teman sebayanya. Pada usia 12 tahun, ia menuntut ilmu dengan menghadiri diskusi para ulama di Baitulmakdis. Pada usia 30 tahun, ia menerima tugas kenabian di Bukit Zaitun. Ketika itu ia sedang beribadah bersama ibunya dan dikelilingi oleh malaikat. Maryam sudah tahu bahwa putranya akan mendapat tugas kenabian ketika hal itu diberitahukan kepadanya.

Setelah menerima wahyu berupa Injil (Q.19:30;57:27),
ia memaklumkan kerasulannya kepada Bani Israil. Namun, para pemuka agama marah, lalu menuntut agar Nabi Isa membuktikan kerasulannya. Ia menunjukkan sejumlah mukjizat yang memperkuat dakwahnya. Al-Qur'an menegaskan bahwa Isa sama sekali tidak memiliki sifat ketuhanan, dan bukan "putra Tuhan." Islam menolak gagasan trinitas, yang menganggap Isa sebagai Tuhan (Q.4:171; 5:17; 73-75; 116-117).
Nabi Isa hanya mengaku diri sebagai nabi dan rasul, dan tidak pernah sebagai Tuhan. Ia malah percaya kepada Allah Swt., pencipta alam semesta, termasuk pencipta dirinya.

KELAHIRAN NABI ISA
Usia kandungan Maryam semakin dekat pada hari kelahiran. Maryam keluar dari daerah pengasingannya untuk menyelamatkan diri serta bayi yang dikandungnya. Maryam semakin merasakan gerak bayi dalam kandungannya. Geraknya semakin lama semakin kuat. Karena merasa sakit, Maryam membaringkan diri. Pada saat itulah lahir seorang anak dari rahimnya. Bayi ini adalah Isa bin Maryam.

BAITULLAHAM
Setelah melahirkan, Maryam merasa lapar dan haus. Ia menggoyang- goyangkan pohon kurma (Q.19:22-26) lalu memakan buah kurma yang terjatuh, dan minum air sungai yang mengalir dekat pohon kurma tempatnya bersandar. Ia bersyukur kepada Allah Swt. karena diberi kemudahan ketika melahirkan putranya. Tempat kelahiran Isa disebut Baitullaham (Bethlehem), yang berarti "tempat lahir". Kota ini terletak sekitar 9,5 km di selatan Yerusalem. Ketika Nabi Isa lahir, Israil dijajah oleh bangsa Romawi.

BAYI PANDAI BICARA
Beberapa hari setelah kelahirannya, Nabi Isa dibawa pulang ke kampung ibunya. Orang kampung berdatangan melihat putra Maryam. Mereka mencemoohkan Maryam karena membawa bayi tanpa ayah. Mereka menuduhnya berbuat zina, padahal ia berasal dari keluarga baik- baik. Maryam tidak menanggapi tuduhan itu, tetapi memberi isyarat kepada bayinya. Tiba-tiba, bayinya menjawab bahwa tuduhan itu tidak benar. Jawaban ini berhasil membungkam mulut mereka. Begitulah Allah Swt. memperlihatkan kekuasaan-Nya. Nabi Isa dikhitan pada usia 8 hari, sesuai dengan syariat para nabi sejak Nabi Ibrahim.

HAMBA TUHAN
Maryam lahir dari keluarga Imran. Maryam berarti " tidak bercela," juga bisa berarti "hamba Tuhan." Ia diasuh oleh Nabi Zakaria setelah ayahnya meninggal. Ketika berada di sebuah mihrab, Maryam didatangi oleh seorang malaikat untuk memberinya seorang putra suci. Maryam terkejut karena ia tidak pernah disentuh oleh laki-laki. Ia khawatir akan dicemoohkan jika ternyata ia hamil. Ketika kandungannya semakin besar, ia menjauhkan diri dari Baitulmakdis. Ia pindah ke desa kelahirannya, Nasirah (Nasaret). Maryam melahirkan seorang bayi tanpa suami (Q.3:45-48, 59; 19:16-35; 21:91; 66:12).

HERODUS
Orang Yerusalem mengenal Nabi Isa sebagai pemuda yang cerdik, pintar, berani, tegas dalam membela kebenaran, dan tidak pernah tunduk dalam menghadapi kebatilan. Sikap dan pendirian ini diketahui oleh Raja Herodus yang berkuasa di Palestina. Ia menganggap Nabi Isa sebagai musuh utama yang bisa mengancam kedudukannya. Herodus pun memutuskan untuk membunuh Nabi Isa. Rencana jahat ini sampai ke telinga Maryam. Oleh karena itu, Maryam segera menyelamatkan putranya dengan mengungsi ke Mesir. Maryam dan Nabi Isa tinggal di Mesir selama 12 tahun. Setelah Raja Herodus wafat, Nabi Isa dan ibunya kembali ke Palestina. Mereka menetap di Nasirah (Nasaret). Sebutan " Nasrani" (orang dari Nasirah), yakni pengikut Nabi Isa, berasal dari nama tempat ini.

BUKIT ZAITUN
Pada usia 30 tahun, Nabi Isa a.s. sering pergi ke luar rumah untuk mengasingkan diri dari keramaian, membersihkan nurani, dan mencari pencerahan jiwa. Ketika menuju ke Bukit Zaitun, Nabi Isa jatuh terduduk dekat sebuah batu besar. Tiba-tiba ada yang datang menghampirinya, lalu memintanya menjadikan batu besar itu roti. Namun, Nabi Isa tidak mengabulkannya. "Kebesaran Tuhan hanya ada pada Allah," kata Nabi Isa. Mendengar jawaban ini, " orang" itu yakin bahwa iman Nabi Isa tetap teguh, lalu ia pun menghilang. Nabi Isa sadar bahwa yang menghampirinya itu adalah iblis yang berusaha menyesatkannya.

AHMAD
Ketika berada di Bukit Zaitun, Nabi Isa bersujud dan bersyukur karena selamat dari godaan iblis. Tidak lama kemudian, Malaikat Jibril mendatanginya, lalu menyampaikan tugas kenabian dan kerasulannya. Nabi Isa menerima wahyu Allah Swt. Kepadanya, Allah Swt. menurunkan kitab suci Injil (Q.4:171), pembenaran kitab suci sebelumnya (Taurat), dan nubuat tentang akan turunnya Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad Saw. yang disebut Ahmad (Q.61:6).

DAKWAH NABI ISA
Nabi Isa a.s. mulai berjuang menyiarkan ajaran Allah Swt., membeberkan kesalahan para pemuka agama Yahudi, dan menyadarkan mereka tentang penyimpangan mereka dari ajaran Nabi Musa. Karena itu, ia berseru kepada Bani Israil agar mereka mematuhi perintah dan menjauhi larangan Allah Swt. (Q.19:31-36). Ia berdakwah supaya mereka bertobat, yakni kembali ke jalan benar yang telah dirintis oleh para nabi sebelumnya. Namun, dakwah Nabi Isa mendapat perlawanan dengan berbagai fitnah dan ejekan. Mereka memintanya untuk membuktikan kenabian serta kerasulannya dengan maksud untuk menghilangkan pengaruh dan wibawanya. Nabi Isa menunjukkan beberapa mukjizat kepada mereka, tetapi tetap saja ada yang tidak percaya.
MUKJIZAT
Nabi Isa a.s. dikaruniai oleh Allah Swt. beberapa mukjizat, antara lain menghidupkan orang yang meninggal, menerima wahyu kitab Injil, menurunkan hidangan dari langit, menyembuhkan sejumlah penderita penyakit serta orang gila, memulihkan orang pincang menjadi berjalan serta orang bisu menjadi berbicara, memelekkan orang buta sejak lahir, dan membuat burung hidup dari tanah liat (Q.3:49; 5:110).

TANAH MENJADI BURUNG
"Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah..." (Q.3:49).

HIDANGAN DARI LANGIT
Dalam perjalanan dakwahnya, Nabi Isa a.s. dan para al- hawariyyun merasa lapar dan dahaga. Untuk menenangkan dan meningkatkan iman para pengikutnya, Nabi Isa berdoa agar Allah Swt. menurunkan nikmat- Nya. Doanya dikabulkan. Hidangan makanan dari langit (Q.5:112-114) merupakan bukti nyata kekuasaan Allah Swt. dan kenabian Isa. Mereka menikmati hidangan tersebut dan bersyukur atas rahmat-Nya.

AL-HAWARIYYUN
Nabi Isa a.s. memiliki beberapa sahabat, murid, dan pengikut setia yang disebut al- hawariyyun (Q.3:52; 5:111-115). Mereka meyakini dakwah Nabi Isa, berhati bersih, dan beriktikad baik untuk membela serta membantu perjuangan Nabi Isa. Sebagian dari al- hawariyyun berasal dari keluarga nelayan seperti Syim'un, Adrius, Ya'qub, dan Yuhanna. Ada juga yang berasal dari keluarga pencuci pakaian, yaitu Lukas, Thomas, Markus, Yuhanna, dan beberapa saudaranya yang masih kecil. Mereka mempercayai ajaran Nabi Isa dan mendapatkan pelajaran darinya.

YUDAS
Salah satu pengikut Nabi Isa a.s. berkhianat. Dengan tuduhan palsu, ia mengadu kepada penguasa Romawi bahwa Nabi Isa akan memberontak dan menggulingkan penguasa. Atas petunjuk dari si pengkhianat (Yudas), tentara Romawi mengepung tempat persembunyian Nabi Isa bersama murid-muridnya. Dalam keadaan berbahaya itu, Allah Swt. menyelamatkan Nabi Isa. Nabi Isa tidak disalibkan dan tidak pula dibunuh, tetapi Allah Swt. mengangkatnya (Q.3:55; 4:157-158).

(sumber: Ensiklopedi Islam untuk Pelajar - no.3

Kian Santang


GODOG adalah sebuah daerah pedesaan yang indah dan nyaman, berjarak 10 km kearah timur dari puseur dayeuh Garut. Tepatnya di Desa Lebakagung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut. Disana terdapat makam Prabu Kiansantang atau yang dikenal dengan sebutan Makam Godog Syeh Sunan Rohmat Suci. Hampir setiap saat banyak masyarakat yang ziarah, terlebih di bulan-bulan Maulud.

Prabu Kiansantang atau Syeh Sunan Rohmat Suci adalah salah seorang putra keturunan raja Pajajaran, Prabu Siliwangi, dari prameswarinya yang bernama Dewi Kumala Wangi. Kian Santang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran, mempunyai dua saudara, bernama Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang.
Pada usia 22 tahun, tepatnya tahun 1337 Masehi, Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor kedua yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor. Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa, khususnya Jawa Barat.
Kiansantang merupakan sinatria yang gagah perkasa. Konon tak ada yang bisa mengalahkannya. Sejak kecil sampai dewasa, yaitu berusia 33 tahun, tepatnya tahun 1348 Masehi, Kiansantang belum pernah tahu seperti apa darahnya. Dalam arti, belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya. Sering kali dia merenung seorang diri, memikirkan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya. Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya.
Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Kiansantang. Namun tak seorangpun yang mampu menunjukkannya. Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kiansantang adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini dipertemukan secara gaib dengan kekuasaan Alloh Yang Maha Kuasa. Lalu , orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang: “Kalau memang kau mau bertemu dengan Sayyidina Ali, kau harus melaksanakan dua syarat: Pertama, harus mujasmedi dulu di ujung kulon. Kedua, namamu harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang - Berani, Setra - Bersih/ Suci).
etelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah pada tahun 1348 Masehi. Setiba di tanah Mekah, ia bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, tetapi Kiansantang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu.
“Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?” tentu laki-­laki itu menjawab dengan jujur, mengiyakannya, bahkan ia bersedia mengantar Kian Santang. Sebelum berangkat, laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah. Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, “Wahai Galantrang Setra, tongkatku ketinggalan di tempat tadi, tolong ambilkan dulu!”
Semula Galantrang Setra tidak mau. Namun Sayyidina Ali mengatakan jika tidak mau, tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali. Terpaksalah Galantrang Setra kembali ketempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, bahkan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi, Kian santang berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi tongkat tetap tertancap di tanah dengan kokoh, sebaliknya kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan keluarlah darah dari tubuh Galantrang Setra.
Sayyidina Ali mengetahui kejadian itu, maka beliaupun datang. Setelah Sayyidina Ali tiba, tongkat itu langsung dicabut sambil mengucapkan Bismillah dan dua kalimat syahadat. Tongkatpun terangkat dan bersamaan dengan itu hilang pulalah darah dari tubuh Galantrang Setra. Galantrang Setra merasa heran, kenapa darah yang keluar dari tubuh itu tiba-tiba menghilang dan kembali tubuhnya sehat. Dalam hatinya ia bertanya. “Apakah kejadian itu karena kalimah yang diucapkan oleh orang tua itu tadi?”. Kalaulah benar, kebetulan, akan kuminta ilmu kalimah itu. Tetapi laki-laki itu tidak menjawab. Alasannya, karena Galantrang Setra belum masuk Islam.
Kemudian mereka berdua berangkat menuju Mekah. Setelah tiba di Mekah, di tengah perjalanan ada yang bertanya kepada laki-laki itu dengan sebutan Sayyidina Ali. Galantrang Setra kaget mendengar panggilan ”Ali” tersebut. Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi tiada lain adalah Sayyidina Ali.
Setelah Kiansantang meninggalkan Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran), ia terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan. Maka ia berpikir untuk kembali ke Mekah lagi dengan niat bulat akan menemui Sayyidina Ali, sekaligus bermaksud memeluk agama Islam. Pada tahun 1348 Masehi, Kiansantang masuk Islam. Ia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya.
Setibanya di Pajajaran, ia bertemu dengan ayahnya. Kian Santang menceritakan pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan Sayyidina Ali. Pada akhir ceritanya, ia memberitahukan bahwa dirinya telah masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget sewaktu mendengar cerita anaknya, terlebih ketika anaknya mengajak masuk agama Islam. Sang ayah tidak percaya, dan ajakannya ditolak.
Tahun 1355 Masehi, Kiansantang berangkat kembali ke tanah Mekah. Jabatan kedaleman, untuk sementara diserahkan ke Galuh Pakuan yang pada waktu itu dalemnya dipegang oleh Prabu Anggalang. Prabu Kiansantang bermukim di tanah Mekah selama tujuh tahun dan mempelajari ajaran agama Islam secara khusu. Merasa sudah cukup menekuni ajaran agama Islam, kemudian ia kembali ke Pajajaran tahun 1362 M. Ia berniat menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Kembali ke Pajajaran pun disertai saudagar Arab yang punya niat berniaga di Pajajaran sambil membantu Kiansantang mensyi’arkan agama Islam.
Setiba di Pajajaran, Kiansantang langsung menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat, karena ajaran Islam dalam fitrohnya membawa keselamatan dunia dan akhirat. Masyarakat menerimanya dengan tangan terbuka. Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud menyebarkan ajaran agama Islam di lingkungan Keraton Pajajaran.
Setelah Prabu Siliwangi mendapat berita bahwa anaknya sudah kembali ke Pajajaran dan akan menghadap kepadanya. Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja mempunyai pikiran. “Dari pada masuk agama Islam lebih baik aku muninggalkan keraton Pajajaran”. Sebelum berangkat meninggalkan keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton Pajajaran yang indah menjadi hutan belantara.
Melihat gelagat demikian, Kiansantang mengejar ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan dengan Kiansantang yang langsung mendesak agar sang ayah dan para pengikutnya masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi tetap menolak, malah beliau lari ke daerah Garut Selatan. Kiansantang menghadangnya di laut Kidul Garut, tetapi Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam. Dengan rasa menyesal, Kiansantang terpaksa membendung jalan larinya sang ayah. Prabu Siliwangi masuk ke dalam gua yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk.
Prabu Kiansantang sudah berusaha mengislamkan ayahnya, tetapi Alloh tidak memberi hidayah kepada Prabu Siliwangi. Kiansantang kembali ke Pajajaran, kemudian membangun kembali kerajaan sambil menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok, dibantu oleh saudagar Arab sambil berdagang. Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi tidak dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau generasi muda akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek moyangnya. Sekarang lokasi istana itu disebut Kebun Raya Bogor.
Pada tahun 1372 Masehi, Kiansantang menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuan dan dia sendiri yang mengkhitan laki-laki yang masuk agama Islam. Tahun 1400 Masehi, Kiansantang diangkat menjadi Raja Pajajaran, menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I. Namun Kiansantang tidak lama menjadi raja, karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu, ia diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mencapai kema’ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk memilih tempat tafakur dari ke 3 tempat, yaitu Gunung Ceremai, Gunung Tasikmalaya, atau Gunung Suci Garut.
Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/ berubah, maka disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kiansantang harus diganti dengan Sunan Rohmat. Sebelum uzlah, Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda, putra tunggal Prabu Munding Kawati.
Setelah selesai serah-terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kiansantang meninggalkan Pajajaran. Tempat yang dituju pertama kali adalah Gunung Ceremai. Setibanya disana, peti diletakan di atas tanah, tetapi peti itu tidak godeg alias berubah. Kiansantang kemudian berangkat lagi ke gunung Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah. Akhirnya Kiansantang memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut, peti itu disimpan diatas tanah, secara tiba-tiba berubahlah peti itu. Dengan godegnya peti tersebut, berarti petunjuk kepada Kiansantang bahwa ditempat itulah beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tempat itu kini diberi nama Makam Godog.
Prabu Kiansantang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu Kiansantang namanya diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat. Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat di tempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam Karamat Godog.***

Mengintip Kebenaran Ramalan Prabu Jayabaya


Mengintip Kebenaran Ramalan Prabu Jayabaya
"Jika sebuah bangsa hanya memperhatikan harta, mengabaikan cita-cita, maka bangsa itu bukanlah bangsa yang besar. Bangsa yang besar adalah bangsa yang hidup dengan cita-cita, memelihara jiwa sekaligus raganya. Tetapi harta bukanlah yang utama. Sebab bukanlah harta yang memerdekakan bangsa dan rakyat kita, melainkan jiwa, sekali lagi jiwa kita yang membaja, semangat kita yang membara yang membawa kita semua ke dalam kemerdekaan, maka Bangunlah Jiwa Rakyat Indonesia, Bangunlah Badannya untuk Indonesia Jaya"

Demikianlah pesan gaib Bung Karno yang disampaikan kepada Kusumo Lelono, seperti yang ditulisnya dalam ‘Satrio Piningit' (Gramedia Pustaka Utama/1999). Menurut Lelono, Bung Karno menggunakan kepercayaan masyarakat akan ramalan Prabu Jayabaya untuk membangkitkan semangat keberanian yang tinggi di kalangan rakyat pada massa perjuangan. Jadi tidak heran, jika hingga kini getar suara Bung Karno itu masih terasa di denyut nadi perjuangan kita, dan sosoknya pun seperti masih bernyawa.
Menurut Lelono, berdasarkan manuskrip kuno Ramalan Prabu Jayabaya, seorang raja yang pernah tercatat memerintah kerajaan kediri pada abad ke-12 (1137-1159) bahwa saat ini Indonesia sedang berada dalam masa antara akhir zaman Kalabendu dan sedang menanti kehadiran zaman Kalasuba.
Di Zaman Kalabendu, di kisahkan bahwa Pada masa pemerintahan raja Hartati - yang menjadi tujuan utamanya hanyalah harta benda - terjadi istana kembar Pajang dan Mataram. Persembahan rakyat beraneka ragam: ada emas-perak, beras, padi, dan lain sebagainya. Semakin lama pajak yang ditanggung oleh rakyat semakin berat, berupa senjata, hewan peliharaan, dan lain sebagainya. Negara semakin rusak, tiada lagi keadilan, karena para pembesar berlaku menyimpang, rakyat kecil tidak menghargai. Yang memimpin tak memiliki keadilan karena tiada memegang wahyu. Banyak wahyu setan, yang tidak karuan.
Kaum hawa kehilangan rasa malu, tiada memiliki rasa rindu kepada anak-anak dan saudaranya. Tidak ada berita benar, banyak kemelaratan, sering terjadi kerusuhan, orang pandai dan bijaksana tersingkir, perbuatan jahat meraja lela, yang berlaku kurang ajar mendapatkan posisi, tidak dapat diberi peringatan, banyak pencuri beraksi di jalanan, sering terjadi gerhana matahari dan gerhana bulan, hujan abu dan gempa bumi, kacau balau, hujan salah musim, perang rusuh di mana-mana tanpa musuh yang jelas.
Selanjutnya pada Zaman Kalasuba, diramalkan saat itu telah dekat dengan akhir zaman Kalabendu. Pemerintahan jatuh karena sang pemimpin bertengkar dengan madunya, muncullah zaman kemuliaan. Saat itu ‘pulau jawa' (baca: Indonesia) sejahtera, semua kerusakan dunia musnah dengan munculnya pemimpin gaib, yakni keturunan ulama yang disebut Ratu Amisan karena kondisinya yang hina dan papa, memegang tampuk kekuasaan tanpa syrat, bertindak bijaksana. Beristanakan Sunyaruri, yang bermakna sunyi senyap, tetapi tanpa rintangan. Saat masih menjadi rahasia Tuhan, kerenanya perkaranya dianggap kurang penting maka khalayak umum tidak mengetahuinya. Kehendak Tuhan memutarbalikkan keadaan: Ia menjadi pemimpin sekaligus ulama, bersikap adil, jauh dari sifat duniawi, disebut Sultan Herucakra.
Sang raja muncul tanpa asal, memiliki bala tentara Sirullah, keutamaannya dzikir, tetapi semua musuh takut. Yang memusuhi hancur lebur tersingkir, sebab raja menghendaki kesejahteraan Negara, keselamatan dunia.
Itulah ramalan Prabu Jayabaya, seperti yang ditulis Lelono. Indonesia saat ini sedang berada di ujung Kalabendu, sambil menanti kedatangan zaman baru, zaman Kalasuba. Pertanyaan kita, adakah fakta yang menunjukkan kebenaran ramalan Prabu Jayabaya atas situasi real bangsa saat ini? Penulis berpendapat bahwa ramalan Jayabaya ada benarnya, dan di bawah ini penulis hanya menunjukkan beberapa fakta secara garis besar, sejauh dapat ditafsirkan.
Pertama, merajalelanya korupsi di tanah air, dalam berbagai bentuk, tingkatan jabatan dan kekuasaan. Ini menandakan bahwa harta kekayaan dalam rupa uang masih menjadi orientasi politik kekuasaan, baik itu dilakukan oleh elite politik maupun oleh masyarakat. Uang telah membutakan mata hati, bukan hanya pejabat politik tingkat elite tetapi juga telah sampai ke desa-desa.
Kedua, tidak adanya kepastian hukum. Upaya penegakan hukum masih terbentur pada kepentingan politik tertentu. Sehingga membawa akibat pada tidak terlaksanya keadilan, juga yang lebih serius adalah tidak ditegakkannya hak asasi manusia dalam hukum. Eksekusi mati, yang masih berlaku di negeri ini menjadi indikasi hilangnya penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Ketiga, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sosok pemimpimnya. Kecenderungan para pemimpin negara untuk mementingkan diri sendiri, mengejar kehendaknya sendiri dan tidak pro-rakyat memberi dampak pada keengganan rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam berpolitik.
Keempat, kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat kecil. Terbukti baru-baru ini konversi minyak dan kenaikan tarif tol yang berorientasi kepada kepentingan ekonomi pejabat negara. Orientasi politik elite negeri yang hanya mementingkan segelintir orang terbaca jelas dalam kebijakan-kebijakan yang dileuarkan. Inilah ‘wahyu setan' seperti yang dikatakan Prabu Jayabaya.
Kelima, moralitas yang tercabik dan kesejahteraan sosial yang terbengkalai. Munculnya berbagai aksi kejahatan, pemerkosaan, penceraian, saling fitnah dan menfitnah, isu dan gosip murahan, sampai isu separatisme dan disintegrasi menjadi indikasi jelas akan hal tersebut.
Keenam, kemiskinan secara ekonomis. Kemelut ekonomi masih mendera kehidupan masyarakat banyak, sementara tuntutan negara terhadap masyarakat melambung tinggi di luar batas kemampuan, misalnya semakin besarnya jumlah pajak, mahalnya bahan-bahan pokok atau vital seperti sandang dan pangan. Hal ini semakin diperparah dengan situasi atau kondisi alam yang tidak memungkinkan, seperti kering yang berkepanjangan dan ketakutan akan bahaya alam yang terus mengintai setiap saat seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi dan tsunami.
Ketujuh, di hadapan situasi runyam di atas, masyarakat tampaknya merindukan seorang Sultan Herucakra, seorang Satrio Piningit. Dalam ramalan Jayabaya tokoh ini dilambangkan sebagai Tunjung Putih Semune Pudak Sinumpet. Maknanya kurang lebih adalah ‘seorang berhati suci, masih disembunyikan identitasnya oleh kegaiban Tuhan'
Apakah zaman Kalasuba akan terbit di pemilu Presiden 2009? Ataukah kita masih harus menunggu hingga tahun 2030, seperti yang termaktub dalam visi Indonesia 2030? Atau kita masih tunggu sampai waktu bertutur pada setiap detik yang risau? Kita sama-sama menanti sambil terus mengintip kebenaran ramalan Prabu Jayabaya. Tapi kita harus tetap optimis bahwa suatu saat - entah kapan - zaman kemuliaan itu akan datang juga.
"Perhatikanlah wahai Rakyatku, bahwa kejayaan Bangsa dan Tanah Airmu, yakni zaman keemasan Indonesia akan sampai pada saatnya. Ketika itu, Indonesia akan terkenal di dunia, berada pada tingkatan utama di antara bangsa-bangsa. Sebagai tanah yang penuh kerahmatan Tuhan Yang Maha Esa" demikian pesan gaib Bung Karno kepada Kusumo Lelono.

Sekilas Sejarah Prabu Kiansantang


Sekilas Sejarah Prabu Kiansantang/Syeh Sunan Rohmat Suci
Godog adalah suatu daerah pedesaan yang indah dan nyaman berjarak 10 km kearah timur dari kota Garut. Berada pada desa Lebakagung, kecamatan Karangpawitan, kabupaten Garut. Disana terdapat makam Prabu Kiansantang atau yang dikenal dengan sebutan Makam Godog Syeh Sunan Rohmat Suci.



Hampir setiap waktu banyak masyarakat yang ziarah, apalagi pada bulan-bulan Maulud. Prabu Kiansantang atau Syeh Sunan Rohmat Suci adalah salah seorang putra keturunan raja Pajajaran yang bernama prabu Siliwangi dari ibunya bernama Dewi Kumala Wangi. Mempunyai dua saudara yang bernama Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang.
Prabu Kiansantang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran yang sekarang Kota Bogor. Pada usia 22 tahun tepatnya tahun 1337 masehi Prabu Kiansantang diangkat menjadi dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor.
Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa khususnya di Jawa Barat. Prabu Kiansantang merupakan sinatria yang gagah perkasa, tak ada yang bisa mengalahkan kegagahannya. Sejak kecil sampai dewasa yaitu usia 33 tahun, tepatnya tahun 1348 Masehi, Prabu Kiansantang belum tahu darahnya sendiri dalam arti belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya disejagat pulau Jawa.
Sering dia merenung seorang diri memikirkan, "dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya". Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya yaitu Prabu Siliwangi supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya. Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Prabu Kiansantang. Namun tak seorangpun yang mampu menunjukkannya.
Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kiansantang itu adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini dipertemukan secara goib dengan kekuasaan Alloh Yang Maha Kuasa.
Lalu orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang: "Kalau memang anda mau bertemu dengan Sayyidina Ali harus melaksanakan dua syarat: Pertama, harus mujasmedi dulu di ujung kulon. Kedua, nama harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang - Berani, Setra - Bersih/ Suci). Setelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah pada tahun 1348 Masehi.
Setiba di tanah Mekah beliau bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, namun Kiansantang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu: "Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?" Laki-­laki itu menjawab bahwa ia kenal, malah bisa mengantarkannya ke tempat Sayyidina Ali.
Sebelum berangkat laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah, yang tak diketahui oleh Galantrang Setra. Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, "Wahai Galantrang Setra tongkatku ketinggalan di tempat tadi, coba tolong ambilkan dulu." Semula Galantrang Setra tidak mau, namun Sayyidina Ali mengatakan, "Kalau tidak mau ya tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali."
Terpaksalah Galantrang Setra kembali ketempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan, dikira tongkat itu akan mudah lepas. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, malahan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi dia berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi dari pada kecabut, malahan kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan keluar pulalah darah dari seluruh tubuh Galantrang Setra.
Sayyidina Ali mengetahui kejadian itu, maka beliaupun datang. Setelah Sayyidina Ali tiba, tongkat itu langsung dicabut sambil mengucapkan Bismillah dan dua kalimat syahadat. Tongkatpun terangkat dan bersamaan dengan itu hilang pulalah darah dari tubuh Galantrang Setra. Galantrang Setra merasa heran kenapa darah yang keluar dari tubuh itu tiba-tiba menghilang dan kembali tubuhnya sehat.
Dalam hatinya ia bertanya. "Apakah kejadian itu karena kalimah yang diucapkan oleh orang tua itu tadi?”. Kalaulah benar, kebetulan sekali, akan kuminta ilmu kalimah itu. Tetapi laki-laki itu tidak menjawab. Alasannya, karena Galantrang Setra belum masuk Islam. Kemudian mereka berdua berangkat menuju kota Mekah. Setelah tiba di kota Mekah, dijalan ada yang bertanya kepada laki-laki itu dengan sebutan Sayyidina Ali. "Kenapa anda Ali pulang terlambat?”. Galantrang Setra kaget mendengar sebutan Ali tersebut.
Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi namanya Sayyidina Ali. Setelah Prabu Kiansantang meninggalkan kota Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran) dia terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan, maka dia berpikir untuk kembali ke tanah Mekah lagi. Maka kembalilah Prabu Kiansantang dengan niatan akan menemui Sayyidina Ali dan bermaksud masuk agama Islam. Pada tahun 1348 Masehi Prabu Kiansantang masuk agama Islam, dia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya. Setibanya di Pajajaran dan bertemu dengan ayahnya, dia menceritakan pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan Sayyidina Ali. Pada akhir ceritanya dia memberitahukan dia telah masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk masuk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget sewaktu mendengar cerita anaknya yang mengajak masuk agama Islam. Sang ayah tidak percaya, malahan ajakannya ditolak. Tahun 1355 Masehi Prabu Kiansantang berangkat kembali ke tanah Mekah, jabatan kedaleman untuk sementara diserahkan ke Galuh Pakuan yang pada waktu itu dalemnya dipegang oleh Prabu Anggalang. Prabu Kiansantang bermukim di tanah Mekah selama tujuh tahun dan mempelajari ajaran agama Islam secara khusu. Merasa sudah cukup menekuni ajaran agama Islam, kemudian beliau kembali ke Pajajaran tahun 1362 M. Beliau berniat menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Kembali ke Pajajaran, disertai oleh Saudagar Arab yang punya niat berniaga di Pajajaran sambil membantu Prabu Kiansantang menyebarkan agama Islam. Setibanya di Pajajaran, Prabu Kiansantang langsung menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat, karena ajaran Islam dalam fitrohnya membawa keselamatan dunia dan akhirat. Masyarakat menerimanya dengan tangan terbuka. Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud menyebarkan ajaran agama Islam di lingkungan Keraton Pajajaran.
Setelah Prabu Siliwangi mendapat berita bahwa anaknya Prabu Kiansantang sudah kembali ke Pajajaran dan akan menghadap kepadanya. Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja mempunyai pikiran. "Dari pada masuk agama Islam lebih baik aku muninggalkan istana keraton Pajajaran". Sebelum berangkat meninggalkan keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton Pajajaran yang indah menjadi hutan belantara. Melihat gelagat demikian, Prabu Kiansantang mengejar ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan dengan Prabu Kiansantang yang langsung mendesak sang ayah dan para pengikutnya agar masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi tetap menolak, malahan beliau lari ke daerah Garut Selatan ke salah satu pantai. Prabu Kiansantang menghadangnya di laut Kidul Garut, tetapi Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam.
Dengan rasa menyesal Prabu Kiansantang terpaksa membendung jalan larinya sang ayah. Prabu Siliwangi masuk kedalam gua, yang sekarang disebut gua sancang Pameungpeuk. Prabu Kiansantang sudah berusaha ingin meng Islamkan ayahnya, tetapi Alloh tidak memberi taufiq dan hidayah kepada Prabu Siliwangi.
Prabu Kiansantang kembali ke Pajajaran, kemudian dia membangun kembali kerajaan sambil menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok daerah, dibantu oleh saudagar arab sambil berdagang. Namun istana kerajaan yang diciptakan oleh Prabu Siliwangi tidak dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak cucu atau generasi muda akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah nenek moyangnya.
Sekarang lokasi istana itu disebut Kebun Raya Bogor. Pada tahun 1372 Masehi Prabu Kiansantang menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuwan dan dia sendiri yang mengkhitanan orang yang masuk agama Islam. Tahun 1400 Masehi, Prabu Kiansantang diangkat menjadi Raja Pajajaran menggantikan Prabu Munding Kawati atau Prabu Anapakem I. Namun Prabu Kiansantang tidak lama menjadi raja karena mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi.
Dalam uzlah itu beliau diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dalam rangka mahabah dan mencapai kema'ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk memilih tempat tafakur dari ke 3 tempat yaitu Gunung Ceremai, Gunung Tasikmalaya, atau Gunung Suci Garut. Waktu uzlah harus dibawa peti yang berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk tempat bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/ berubah, maka disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama Kiansantang harus diganti dengan Sunan Rohmat. Sebelum uzlah Prabu Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda putra tunggal Prabu Munding Kawati. Setelah selesai serah terima tahta kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kiansantang meninggalkan Pajajaran.
Yang dituju pertama kali adalah gunung Ceremai. Tiba disana lalu peti disimpan diatas tanah, namun peti itu tidak godeg alias berubah. Prabu Kiansantang kemudian berangkat lagi ke gunung Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah. Akhirnya Prabu Kiansantang memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung Suci Garut peti itu disimpan diatas tanah secara tiba-tiba berubah/ godeg.
Dengan godegnya peti tersebut, itu berarti petunjuk kepada Prabu Kiansantang bahwa ditempat itulah, beliau harus tafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tempat itu kini diberi nama Makam Godog. Prabu Kiansantang bertafakur selama 19 tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu Kiansantang namanya diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya menjadi Godog Karamat. Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849 Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat ditempat itu yang sampai sekarang dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam Karamat Godog.

Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan


Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan
BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut.
Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.
Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).
Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.
Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.
Sumber-sumber Sejarah
SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.
Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.
Tokoh Cakrabuana
BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.
Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.
Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.
Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.
Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).
Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).
Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.
Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.
Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.
Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.
Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.
Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.

Tokoh Kian Santang
SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.
Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.
Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat Syahadat.
Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.
Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.
Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.
Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.
Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.
Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied. Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India.
Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.
Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.
Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).

Tokoh Syarif Hidayatullah
SEPERTI telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.
Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.
Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.
Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).
Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.
Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang Eropa.
Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.
Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean.
Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.

Khatimah
DEMIKIANLAH sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hdiayatullah.
Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).
Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.

Islamisasi di Betawi


Islamisasi di Betawi
Dalam diskusi 'kecil' di Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) awal pekan ini, banyak dipertanyakan sejak kapan penduduk Betawi (Jakarta) memeluk agama Islam. Apakah proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya baru terjadi sejak Falatihan, panglima Kerajaan Islam Demak menaklukkan Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527.
Pendapat ini dibantah keras budayawan Betawi, Drs Ridwan Saidi. Menurut dia, proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya sudah terjadi jauh lebih awal. Bahkan, lebih dari 100 tahun sebelum kedatangan balatentara Falatehan yang mengusir orang Barat (Portugis) di Teluk Jakarta (sekitar Pasar Ikan). Tepatnya pada tahun 1412, yang digerakkan oleh Syekh Kuro, seorang ulama dari Campa (Kamboja). Pada tahun tersebut, ia telah membangun sebuah pesantren di Tanjung Puro, Karawang. Sementara, Siswadi, dalam tulisan mengenai 'Perkembangan Kota Jakarta,' menulis : 'Dalam abad ke-14 dan 15 kraton-kraton di Jawa sudah menerima Islam karena alasan politik.'

Menurut kitab 'Sanghyang Saksakhanda', sejak pesisir utara Pulau Jawa -- mulai dari Cirebon - Krawang dan Bekasi -- terkena pengaruh Islam yang disebarkan orang-orang Pasai, maka tidak sedikit orang-orang Melayu yang masuk Islam.

Pesantren Syekh Kuro mempunyai santri --salah satunya-- Nyai Subanglarang, salah seorang istri Prabu Siliwangi. Hal ini menunjukkan bahwa proses Islamisasi tidak hanya terjadi pada kalangan rakyat biasa, juga pada tingkat elite. Menurut legenda, Sang Prabu Siliwangi menolak masuk Islam, ketika diimbau oleh putranya Kian Santang atau Pangeran Cakrabuana. Proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya di abad ke-14 sampai ke-16 tidak dapat dilakukan tanpa menyebut nama-nama besar seperti Kian Santang. Ia tanpa ragu-ragu mengikuti jejak ibunya, memeluk Islam.

Setelah terjadi proses Islamisasi, Prabu Siliwangi lalu ngahyang atau meng-hyang. Menurut Ridwan Saidi, dari sinilah muncul kata : 'parahyangan'. Tapi, menurutnya, hingga sekarang masih menjadi pertanyaan besar: Apakah prabu menolak ajakan putranya masuk Islam, atau menerima ajakan itu secara diam-diam?

Kian Santang, cukup berjasa dalam dakwahnya, termasuk di Jakarta dan sekitarnya. Karena itu, sekalipun dia berasal dari Sunda, tapi mendapat tempat di hati orang Betawi. Penguasa Pajajaran, ketika itu menyebut mereka yang masuk Islam sebagai kaum langgara. Berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya orang-orang yang telah berubah atau beralih kepercayaan. Dan tempat shalat mereka disebut langgar. Karena itu, orang Betawi masih menggunakan istilah langgar sebagai padanan dari mushola. Kaum langgara inilah yang disebut samanan. Seperti kita ketahui, di Jakarta Barat maupun Bekasi ada kampung bernama Semanan.

Salah seorang murid Kian Santang, yang juga menjadi penyebar Islam yang handal adalah Pangeran Papak, seorang adipati dari Tanjung Jaya yang kini lokasinya di Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Ratunya adalah Kiranawati, yang dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Menurut cerita rakyat, bila Ratu Kiranawati bepergian dengan kereta kuda, ia dilepas dengan mengumandangkan adzan.

Dalam diskusi itu, Ridwan menyebutkan, dalam proses Islamisasi, terdapat tujuh wali Betawi. Antara lain, Pangeran Darmakumala dan Kumpi Datuk yang dimakamkan berdekatan, di tepi kali Ciliwung, dekat Kelapa Dua, Jakarta Timur. Kemudian Habib Sawangan, yang dimakamkan di depan Pesantren Al-Hamidiyah, Depok. Pangeran Papak, dimakamkan di Jl Perintis Kemerdekaan, Jakarta Timur. Wali lainnya, Ki Aling, menurut Ridwan, tidak diketahui makamnya. Ketujuh 'wali Betawi' ini, menurutnya, hidup sebelum penyerbuan Fatahilah ke Sunda Kelapa.

Beberapa generasi setelah tujuh wali itu, terdapat Habib Husein Alaydrus yang dimakamkam di Luar Batang, tempat ia membangun masjid pada awal abad ke-18. Kong Jamirun dimakamkan di Marunda, Jakarta Utara. Datuk Biru, makamnya di Rawabangke, Jatinegara. Serta Habib Alqudsi dari Kampung Bandan, Jakarta Utara. Di Mekkah, terdapat Sheikh Junaid Al-Betawi, yang berasal dari Kampung Pekojan, Jakarta Barat. Syekh Junaid, yang kumpi dari Habib Usman bin Yahya, adalah guru dari Syekh Nawawi Al-Bantani, yang mengarang ratusan kitab, tersebar di berbagai negara Islam. Habib Usman, sendiri adalah salah seorang guru dari Habib Ali Alhabsji, pendiri majelis taklim Kwitang, Jakarta Pusat.

Seperti daerah lainnya di Nusantara, Islamisasi di Betawi berlangsung penetration pacifique (penyebaran secara damai). ()

(Oleh Alwi Shahab, dari Republika 13 Januari 2002)

Kisah Abu Nawas


Demi Tata Krama Kepada Raja
Konon di Zaman Raja Harun Al Rasyid dulu tidak ada yang namanya WC, yang ada cuma sungai atau kali untuk buang hajat. Suatu ketika sang raja merasa perutnya sedang sakit, dan sudah tidak bisa lagi untuk diajak kompromi. Seketika itu juga raja meminta para pengawal untuk mendampinginya ke sungai demi menuntaskan hajatnya. Kebetulan sungai disitu mengalir ke arah selatan.
Dan Sudah masyhur di kalangan masyarakat , jika sang raja sedang buag hajat di sungai, maka rakyat dilarang keras berak di sebelah utaranya raja, karena di khawatirkan kotoran tersebut akan mengalir ke arah selatan dan mengenai badan sang raja. Dan kalau ada yang melanggar, maka akan mendapatkan hukuman berat dari sang raja.
Namun kali ini, peraturan tersebut tidak di indahkan oleh sang tokoh kocak Abu Nawas, Abu Nawas dengan santainya juga ikut berak di sebelah utara agak jauh dari posisi sang raja, sehingga sang raja tidak melihatnya. Disaat asyik buang hajat, tiba – tiba saja ada suatu benda yang menyenggol pantat sang raja, tanpa berpikir panjang, benda tersebut langsung dipegang dan dilihat oleh sang raja, alangkah terkejutnya, ternyata benda tersebut adalah kotoran manusia. kontan saja hal itu membuat sang raja naik pitam. seketika itu juga raja menyuruh para pengawalnya untuk menelusuri sungai di sebelah utara,dan menangkap orang yang berak . Benar saja, di sebelah utara agak jauh dari posisi sang raja, terlihat sosok abu nawas sedang berak dengan santainya. Saat itu juga para pengawal langsung menangkap dan membawanya ke hadapan raja untuk di hukum.
Ketika di hadapkan pada raja, Abu Nawas memprotes pada raja kenapa dia di tangkap dan akan dihukum. Raja pun menjawab :
” Apakah kamu tidak tahu wahai Abu Nawas, perbuatanmu itu telah melecehkan privasiku, kamu telah menginjak – injak harga diriku, kamu memang tidak punya tata krama !!! bentak sang raja.
“Berani – beraninya kamu berak di sebelah utaraku, sehingga kotoranmu mengenai badanku, selama ini tidak pernah seorangpun dari rakyatku berani melakukan perbuatan sepertimu” wahai Abu Nawas” Tambah sang raja dengan nada sangat kesal.
“Kini kamu harus menerima hukuman dariku”
“Maaf, tunggu sebentar wahai raja ” sela Abu nawas.
“Ada apa? tanya raja, “kali ini tidak ada lagi ampun bagimu Abu nawas”
“Tunggu sebentar, tolong beri saya kesempatan untuk menjelaskannya.
“Saya melakukan itu semua, karena saya sangat menghormati engkau wahai raja”
mendegar hal itu, raja harun Al Rasyid langsung sedikit tertegun dengan apa yang disampaikan oleh abu nawas.
“Lho perbuatan seperti itu , kamu bilang malah untuk menghormati aku???” tanya raja dengan ekspresi agak sedikit keheranan.
“Ya benar raja ” jawab abu nawas dengan tegasnya.
Rajapun semakin keheranan dan penasaran dengan abu nawas.
“Baiklah kali ini aku kasih kamu kesempatan untuk menjelaskan alasannya, jika alasanmu tidak masuk akal maka aku tidak segan – segan untuk memperberat hukumanmu.”
“Baiklah raja, begini alasannya . Raja tahu, selama ini jika raja tengah mengadakan perjalanan dengan rakyat atau bersama pengawal , tidak ada satupun dari rakyat atau pengawal raja yang berani mendahului jalannya raja, begitu juga dengan saya, ketika saya ikut rombongan raja , posisi saya ketika berjalan tidak berani mendahului raja, itu saya lakuakan karena saya menjaga tata krama dan sopan santun kepada raja”
“Ya bagus, lha terus apa hubungannya dengan perbuatanmu yang sekarang ini??” tanya raja dengan nada semakin penasaran dengan akal cerdik abu nawas.
“Begini raja, saya menghormati engkau tidak setengah – setengah, melainkan saya menghormati engkau dengan sepenuh hati . Ketika saya buang hajat , saya memilih di sebelah utara raja, dan sama sekali , saya tidak berani berak berada di sebelah selatan raja. Hal ini saya lakukan karena saya kuatir, jika saya berak di sebelah selatan raja, maka nanti kotoran saya berlaku tidak sopan kepada kotoran raja, karena sudah berani berjalan mendahuli kotoran raja. sehingga saya memilih berak di sebelah utara, agar supaya kotoran saya tidak sampai mendahului kotoran raja. Ini semua saya lakuakan tidak lain, hanya demi Tata krama saya kepada kotoran raja.
Terus terang wahai baginda, kotoran saya tidak berani mendahului kotoran raja, karena hal itu merupakan perbuatan su’ul adab.
Ketika raja berjalan, saya tidak berani mendahului jalan raja, begitu juga ketika kotoran raja mengalir, maka kotoran saya pun tidak berani mendahului kotoran raja. ini semua saya lakuakn karena Sopan santun dan tata krama saya yang sepenuh hati kepada raja.”
“Malah yang seharusnya diberi hukuman bukan saya wahai raja , melainkan rakyat engkau yang tidak punya tata krama, karena mereka berani berak di sebelah selatanmu, sehingga kotoran mereka mendahului kotoranmu. “
Mendengar penjelasan Abu nawas, raja pun tersennyum. dia tidak jadi marah dan menghukum Abu nawas, tetapi oleh sang raja Abu Nawas malah diberi hadiah karena alasannya masuk akal. Sejak kejadian itu, raja pun menginstruksikan kepada rakyatnya untuk berak di sebelah utara sang raja, demi menjaga kesopanan kepada kotoran sang raja…